Konflik kekerasan di Indonesia berlangsung bersamaan dengan proses transisi politik setelah krisis finansial yang parah tahun 1997. Namun, jauh sebelumnya, berbagai konflik kekerasan/"violent conflict" telah muncul sejak era prakolonial, kolonial, maupun masa Orde Baru dan periode "reformasi". Beberapa studi telah menunjukkan bahwa basis-basis konflik kekerasan sudah "terlanjur" berurat-akar pada berbagai level, terutama pada level komunal. Inti berbagai kajian itu mencakup identifikasi akar konflik, aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, serta prospek untuk mewujudkan situasi non-konflik, status quo, maupun usulan rekonsiliasi dan perdamaian jangka panjang. Catatan sejarah itu menunjukkan "keakraban" masyarakat Indonesia dengan kekerasan dalam berbagai bentuknya: struktural, simbolik, dan fisik, sehingga negeri ini sempat mendapat julukan "a violent country/culture".
Analisis terhadap akar konflik di Indonesia oleh Colombian dan Lindbland menunjukkan, kekerasan muncul di setiap level masyarakat jajahan, oleh politik kolonial (kasus "urang Rantai" di tambang Ombilin; pemberontakan Haji Hasan di Cimareme terhadap Polisi Kolonial, dan kekerasan di kawasan perkebunan Sumatra Utara). Pada masa itu, kekerasan digunakan oleh negara sebagai suatu instrumen untuk mengalahkan warga masyarakat sendiri, jika pemerintah "absen" dari penggunaan kekuatan paksaan. Kunci untuk memahami kekerasan di Indonesia paska Orde Baru, menurut Lindbland dan Colombijn, adalah dengan memperbandingkannya dengan kasus-kasus kekerasan lain: (1) dengan kasus-kasus lain di Indonesia yang terjadi pada waktu yang bersamaan; (2) dengan kekerasan yang terjadi di negara lain; dan (3) dengan kekerasan yang terjadi di masa lalu. Colombijn dan Lindbland tidak sepakat dengan pendekatan yang hanya membatasi pada Orde Baru sebagai pangkal segala bentuk konflik kekerasan yang terjadi sekarang.
Sementara, dari sudut sejarah geopolitik internasional, Mark Mazower memotret kekerasan di negara-negara pada abad keduapuluh sebagai akibat dari sisi perubahan konteks internasional dalam negara-negara di abad keduapuluh. Dalam "Violence and The State in Twentieth Century" Mazower menyebutkan: "[not] long ago, modernization was thought to lead to prosperity, social -welfare, and stability. When historical sociologists in particular sought to explain episodes of political violence along the path (or paths) to the modern era, they tended to see these as temporary. Both Barrington Moore and Charles Tilly, for instance, stressed the role of coercion and social conflict in modernisation, but only as elements in a process of transition. Of late, however, violence has moved center stage, and the twentieth century is increasingly characterized by scholars in terms of its historically levels of bloodshed". Dari sisi lain, Collins justru mempertanyakan keabsahan klaim bahwa kekerasan merupakan "budaya" Indonesia, dan mengajukan argumen bahwa klaim tersebut semata-mata ditujukan untuk melegitimasi kembalinya state-sponsored violence.
Dengan melihat beberapa sorotan terhadap konflik kekerasan di Indonesia di atas, maka wajar lah jika akhirnya di kalangan masyarakat muncul keragu-raguan bahkan sikap skeptis terhadap alternatif untuk keluar dari konflik kekerasan, jika menyimak catatan tentang konflik dan kekerasan di Indonesia. "[s]udah biasa, kak, di sini kalau satu orang mati ta'ada artinya, kami mengungsi karna tak tahu harus tinggal di mana lagi, di kampong mana, di sini saja ditolak" .
Perdamaian: Utopia atau Realita
Di sisi lain, masyarakat masih menginginkan damai. "Damai" merupakan persyaratan mutlak bagi setiap manusia yang menginginkan rasa aman. Tanpa itu, tidak mungkin seseorang atau sekelompok orang, baik dari unit terkecil dalam masyarakat ataupun bahkan dalam negara, dapat memenuhi kebutuhan sosial, politik dan ekonominya dengan baik. Di satu sisi, ada pihak-pihak yang menarik keuntungan dari sebuah "absence of peaceful situation", oleh karena mereka sangat berkepentingan terhadap "ketersediaan" konflik yang berlarut-larut, dan mayoritas berbentuk kepentingan ekonomi dan/atau politik. Di sisi lain, konsep "damai" pun ternyata kontekstual, jika diletakkan dalam situasi tertentu. Yang dimaksudkan dengan situasi damai dalam tulisan ini, oleh karenanya, bukan sekedar dalam makna yang negatif, relatif tanpa gejolak, atau tanpa konflik. Namun lebih dari itu, sebagai salah satu tujuan dari penanganan konflik. Saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut sebagai pengantar diskusi: (1) Mengapa perlu situasi damai?; (2) Apakah perdamaian sebagai prekondisi bagi rasa aman, yang merupakan hak dasar warga negara telah terpenuhi?; (3) Bagaimana mencapai situasi damai yang "sustainable", apakah faktor pendukung dan penghambatnya?; (3) bagaimana tanggungjawab negara, sekaligus stakeholders di dalam negara?
Apa yang Mungkin Dilakukan?
Ada poin penting ketika membicarakan soal "perdamaian", yaitu menyangkut persepsi dan interpretasi siapakah yang dominan di dalamnya. Jika Hambali merujuk pada problematika konsep "rekonsiliasi" dalam kasus Tragedi Tanjung Priok, maka hal yang sama dapat diajukan pada konsep "damai" untuk mengakhiri kasus konflik kekerasan itu sendiri. Bukankah militer juga memasang spanduk "damai itu indah" di lokasi-lokasi strategis di sudut-sudut kota dan di pelosok-pelosok desa? Sebuah kesepakatan damai, dalam konflik yang terjadi di level apapun, baik intra state (konflik internal) maupun inter-state (konflik antar negara), seharusnya memuat elemen-elemen "peace building", termasuk di dalamnya upaya penegakan hukum dan perwujudan sikap saling percaya (confidence building measures) di antara pihak-pihak yang berkonflik. Namun, jika instrumen hukum tidak lagi dipercaya oleh masyarakat, padahal keamanan juga merupakan hak warga, maka bagaimana upaya untuk mencapainya? Negara tidak berfungsi semestinya dalam menyediakan situasi aman. Dimanakah posisi stakeholders? Jika kekerasan akhirnya direproduksi oleh kelompok-kelompok "masyarakat sipil", apakah tidak ada lagi masa depan untuk kata "damai" ?
Dalam konteks ini, diperlukan upaya menelusuri kembali langkah-langkah yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak untuk mencapai tujuan perdamaian, terutama dalam konteks pemenuhan hak warga negara akan rasa aman, serta melihat bagaimana upaya untuk mewujudkan mekanisme penanganan konflik, dan signifikansinya untuk mendorong ke arah perdamaian jangka panjang di Indonesia. Apakah kita memiliki alternatif "perdamaian", yang dimaksudkan bukan dalam pengertian "negative peace" yang berbentuk sekedar penghentian kekerasan, melainkan "positive peace" yang disertai partisipasi langsung dari masyarakat untuk mewujudkannya? Pendekatan penanganan konflik manakah yang paling sesuai jika melihat pada kecenderungan bertarutnya konflik,terutama jika melihat akibat yang ditimbulkannya?
Pandangan jangka panjang terhadap konflik itu sendiri setidaknya tergantung pada dua variable: keseimbangan kekuatan, serta kesadaran terhadap keberadaan kelompok-kelompok kepentingan dan kebutuhan mereka yang terlibat konflik; dan pendekatan terhadap penanganan konflik seperti telah disebutkan di muka. Proses penanganan konflik dan upaya untuk mencapai perdamaian dapat dipahami dalam konteks tersebut. Dalam hal ini, peran peace builder terutama diharapkan muncul dari kalangan civil society, atau individu-individu yang memahami persoalan, dan mampu menganalisis dengan jernih setiap konflik yang terjadi, dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Kita dapat memposisikan diri sebagai pihak yang memberikan analisis/konsultasi, langsung melakukan advokasi, atau melibatkan diri sebagai "third party" dalam skema mediasi dan/atau negosiasi, dengan persyaratan kondisi relasi yang seimbang di antara pihak-pihak yang berkonflik.
Sebagai kesimpulan, tujuan utama dan proses pembangunan situasi damai adalah untuk merestrukturisasi hubungan-hubungan sosial yang telah rusak; dan, lebih jauh lagi, menghasilkan sebuah mekanisme penanganan konflik yang adil dan damai, dengan memperhatikan aspek-aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya yang meliputi lokus konflik tersebut. Dari sisi pandang seperti ini, mengedepankan dan membuka potensi konflik laten bukan merupakan "provokasi" atau "menambah" konflik, melainkan merupakan bagian dari proses perdamaian yang lebih luas.
Dikutip Dari :
http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/mewujudkan_perdamaian.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar